20 Juli 2010

BAYI TABUNG SEBAGAI ALTERNATIF UNTUK HAMIL

Memiliki anak dari hasil perkawinan merupakan dambaan nyaris setiap pasangan suami-istri. Namun jika sang anak tidak kunjung datang, segala upaya akan ditempuh, termasuk melalui program bayi tabung.

Hampir setiap pasangan suami-istri (pasutri) sadar, tidak mempunyai anak bukanlah akhir dunia. Namun, memiliki darah daging sendiri tetap menjadi tujuan yang dirasakan penting. Apalagi banyak di kalangan masyarakat yang masih menganggap keberadaan anak tidak saja sebagai keturunan semata, tetapi juga menjadi penerus nama keluarga dan segala adat budaya yang menjadi konsekuensinya.

Tidaklah heran jika banyak pasutri yang belum memiliki anak melakukan berbagai cara untuk mendapatkan momongan. Mereka tidak lelah untuk konsultasi kepada dokter kebidanan, mengonsumsi obat penyubur, berkonsultasi ke sinse, dukun, sampai rajin makan makanan tertentu yang dianggap bisa membantu kehamilan. Namun setelah berbagai cara ditempuh, sang anak tidak juga kunjung datang. Padahal, semua konsultan mengatakan pasutri itu subur.

Menurut Prof Dr dr Sudraji Sumapraja SpOG (K), pelopor program bayi tabung di Indonesia, pasutri yang mengalami gangguan kesuburan pada tingkat dunia mencapai 10-15 persen. Dari jumlah itu, 90 persen diketahui penyebabnya. Dari jumlah tersebut, 40 persen di antaranya berasal dari faktor perempuan, 30 persen dari faktor pria, dan 30 persen sisanya berasal baik dari faktor pria maupun perempuan.

Sekarang, memiliki anak lewat program bayi tabung semakin banyak dipilih. Program ini membantu para istri maupun suami yang mempunyai masalah pada alat reproduksi atau juga karena sebab yang tidak jelas.

"Saya memilih program ini karena menurut dokter saya dan suami sehat. Tidak ada masalah dengan kandungan atau kualitas sperma. Tetapi entah kenapa, hingga sembilan tahun perkawinan, saya tidak hamil juga," kata Gita (36), yang sedang mengikuti program bayi tabung untuk ketiga kalinya.

Jika Gita tidak mengetahui penyebab ketidakhamilannya, tak demikian dengan pasangan Dwi Tugas Waluyanto (39) dan Sari Fariza (31). Setelah tiga tahun perkawinan tidak kunjung punya momongan, pasangan ini mulai berkonsultasi dengan dokter. Setiap kali konsultasi, dokter berkesimpulan tidak ada sperma yang keluar dari alat reproduksi Dwi.

Namun, Dwi dan Sari tidak percaya begitu saja. Sampai lima tahun berikutnya, mereka selalu mencari tahu dan berusaha mencari jawaban kepada berbagai ahli, baik medis maupun alternatif. Apa pun usaha yang bisa membuat Sari hamil.

"Tetapi kesimpulan mereka sama. Sari tidak bisa hamil karena saya tidak bisa mengeluarkan sperma," kata Dwi.

Sampai pada suatu saat, mereka bertemu dengan seorang dokter yang mengusulkan untuk mengikuti program bayi tabung. Mereka pun setuju mengikuti program ini walaupun sebenarnya mereka agak pesimistis.

"Dokter sih optimistis karena menurut dia sebenarnya hormon saya normal dan bisa menghasilkan sperma. Dokter curiga ada penyumbatan di salah satu tempat yang membuat sperma saya tidak keluar. Jadi mengikuti program bayi tabung adalah satu-satunya cara agar saya punya anak," kata Dwi yang memutuskan ikut program ini Agustus 2005 dan akhir Mei lalu berhasil mendapatkan dua anak kembar, Jasmin Naura Aulia dan Harisandi Kusumo Jati.

Masuk Akal

Gita sendiri memilih program bayi tabung karena menurutnya ini merupakan cara yang paling masuk akal. "Saya pernah datang ke paranormal yang berpraktik di Cibubur, Jakarta Timur. Kata orang, paranormal itu bisa membantu membuat hamil pasangan yang ingin mendapatkan anak. Tetapi sewaktu ketemu, masak dia bilang saya sudah hamil. Padahal baru seminggu sebelum ke paranormal itu saya datang bulan. Dan, sejak haid saya belum berhubungan dengan suami. Bagaimana dia bisa bilang saya hamil," cerita Gita yang juga seorang dokter.

Sebelum memutuskan ikut program bayi tabung, Gita sudah empat kali mengikuti program inseminasi, yaitu sperma suami diambil dan dipilih yang terbaik, lalu disemprotkan ke rahim istri pada masa subur.

"Biaya inseminasi relatif murah, sekitar Rp 750.000 per program. Tetapi ternyata inseminasi tidak berhasil membuat saya hamil," tutur Gita.

Setelah inseminasi tidak berhasil, Gita mulai tertarik mengikuti program bayi tabung. Apalagi waktu itu, tahun 2004, umurnya 34 tahun. Ini bukan umur yang muda untuk memulai kehamilan pertama.

"Saya tidak mungkin duduk diam menunggu keajaiban, seperti tiba-tiba saya bisa hamil. Saya harus melakukan usaha. Bagaimana hasilnya, itu terserah Yang Kuasa," kata Gita menegaskan.

Motivasi Kuat

Ketika memutuskan mengikuti program bayi tabung, pasangan suami-istri sebaiknya sudah mempertimbangkannya dengan matang. Selain harus mengeluarkan biaya yang cukup besar—dari Rp 16,5 juta sampai Rp 54 juta, tergantung paket yang diambil—pasutri yang mengikuti program ini juga dituntut memiliki kedisiplinan dan motivasi yang kuat.

"Kalau bukan karena motivasi yang kuat, saya rasa saat ini saya tidak bakalan memiliki ketiga anak yang lucu-lucu ini," kata Yenny Halim (40), ibu dari kembar tiga Stella, Vanessa, dan Rocky (4). Yenny mengikuti program bayi tabung pada tahun 2001.

Motivasi memang memegang peranan yang paling penting. Dengan motivasi, rasa sakit dan stres yang muncul selama mengikuti program ini menjadi seakan tidak cukup berarti.

Program yang lebih terfokus pada istri ini memang membawa konsekuensi berat pada istri. Setiap hari, sekitar lima sampai 14 hari (tergantung perkembangan tiap individu), istri harus disuntik pada waktu-waktu yang sama.

Jadi, setiap hari mereka—para istri—harus bolak-balik ke rumah sakit, dua kali setiap hari. Ini untuk pengambilan darah, pemeriksaan dengan ultrasonografi, dan suntik hormon yang bertujuan memperbanyak jumlah sel telur yang matang.

Kewajiban tersebut merupakan suatu hal yang melelahkan, mengingat kondisi lalu lintas di kota besar seperti Jakarta sering kali menambah stres dalam mengikuti program ini.

"Ketika suntik hormon selesai dan telur sudah siap dipanen, perut rasanya kembung sekali. Bayangkan saja, jika satu telur besarnya kira-kira 20 milimeter, sementara di perut ada 11 telur yang matang. Jadi, bisa dibayangkan perut rasanya begah banget," kata Gita.

Ini belum lagi rasa sakit ketika proses pengambilan sel telur dilakukan, dan penanamannya kembali ke rahim setelah menjadi embrio.

"Biarpun sudah dibius, tetapi saya masih ingat bagaimana rasa sakitnya saat itu!" ucap Yenny mengenang.

Yenny yang berhasil hamil, kemudian harus beristirahat total selama masa kehamilan. Ini karena tiga dari empat embrio yang ditanamkan kembali di rahimnya berkembang dengan baik.
"Kehamilan saya dianggap berisiko tinggi karena mengandung tiga anak pada kehamilan pertama. Apalagi usia saya pada waktu itu 36 tahun, tidak muda lagi," kata Yenny.

Adhi (56), yang juga pernah mengikuti dua kali program bayi tabung, mengatakan, istrinya sekarang menderita alergi dan agak menurun kondisi kesehatannya setelah mengikuti program ini.

"Dokter kandungan yang memeriksa istri saya menduga, karena disuntik hormon untuk memacu pertumbuhan telur telah membawa dampak negatif buat tubuh istri saya. Dulu tubuh istri saya kuat sekali. Dia tidak mudah sakit. Dia memang ada alergi, tetapi ringan. Setelah ikut program bayi tabung, alerginya parah sekali," kata Adhi yang mengaku senang pada anak-anak.
Angka keberhasilan program bayi tabung di seluruh dunia sekarang ini berkisar 25-30 persen. Namun dengan teknologi yang terus berkembang, bukan tidak mungkin di masa mendatang angka keberhasilan yang bisa dicapai semakin tinggi.

Sumber: Kompas - Kompas - Minggu, 06 Agustus 2006